Tantangan Mewujudkan Mobil Listrik

Jakarta: Urgensi mobil listrik di dalam negeri dinilai sudah tak perlu lagi dipertanyakan. Dalam hal mengurangi emisi, membatasi, bahkan mengefisienkan energi, kendaraan berbasis listrik dianggap sebagai jawaban.

Namun, mewujudkan kendaraan listrik di Indonesia tidaklah mudah alih-alih hanya berwacana. Ada banyak hal yang harus dilakukan pemerintah dan pemangku kepentingan termasuk kalangan industri dan pengusaha untuk ikut berkontribusi menciptakan kendaraan yang lebih ramah lingkungan.

Wakil Ketua Umum Kantor Dagang Industri (Kadin) Johnny Darmawan mengatakan masalah utama yang dihadapi negara dalam mewujudkan kendaraan listrik adalah ketersediaan komponen utama yakni baterai. Sekelas Tiongkok sebagai negara maju pun mengalami persoalan serupa. 

“Apalagi disebutkan bahwa baterai memakan biaya sampai 60 persen harga kendaraan. Negara maju seperti Tiongkok, Eropa, atau Amerika memang sudah bicara EV (electic vehicle) tapi keberhasilan totalnya masih menjadi pertanyaan besar,” ujarnya dalam Economic Challenges Metro TV, Selasa, 4 Desember 2018.

Johnny mencontohkan, Tiongkok sebagai negara maju saja baru mampu memproduksi sekitar 500 ribu unit kendaraan berbasis listrik. Padahal produksi kendaraan konvensional per tahunnya mencapai 30 juta unit. Artinya, jumlah itu masih sangat sedikit.

Belum jika bicara stasiun pengisian bahan bakar yang membutuhkan fasilitas pendukung dan berapa jarak yang bisa ditempuh oleh kendaraan listrik. “Hal-hal seperti ini harus dipikirkan,” kata dia.

Sementara itu, asosiasi kendaraan bermotor di Indonesia (Gaikindo) merasakan hal serupa. Sekjen Gaikindo Kukuh Kumara menyebut satu sisi Indonesia memang siap beralih ke kendaraan ramah lingkungan namun persoalan mahalnya baterai sebagai komponen utama dikhawatirkan tak bisa terbeli oleh masyarakat. 

“Saat ini mobil listrik yang relatif murah berkisar antara harga Rp400 juta sampai Rp500 juta. Apakah itu akan dipilih masyarakat? belum lagi bicara daya jangkau dan sebagainya,” ungkap Kukuh.

Dirjen Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi, dan Elektronika (Ilmate) Kemenperin Harjanto memahami kekhawatiran yang dirasakan pengusaha terkait wacana mengaspalkan kendaraan listrik. Karena itu pemerintah mencoba menawarkan pola insentif terkait hal ini.

Selain itu, kategori khusus juga diberlakukan untuk mobil listrik. Misalnya fungsi mobil listrik yang hanya untuk jarak pendek, kategori mobil penumpang di bawah 10 orang, sampai dengan bus listrik yang hanya melayani rute point to point. 

“Aplikasi di lapangan seperti kendaraan berat kan tidak mungkin pakai baterai besar, makanya untuk kendaraan jarak menengah ada yang tetap menggunakan fuel cell atau biodiesel. Jadi tidak semua mobil harus menggunakan listrik,” ungkapnya.

Harjanto menyadari betul mengubah kendaraan konvensional ke listrik terlalu bagus menjadi kenyataan. Risiko pembangunan infrastruktur sampai ke lapisan bawah untuk menunjang operasional kendaraan listrik sudah dihitung oleh pemerintah.

Karenanya, dalam pandangan pemerintah aplikasi kendaraan listrik sementara hanya dikhususkan untuk kendaraan dengan kapasitas kecil. Mencontoh Tiongkok, kendaraan komersial berbasis listrik yang digunakan berupa taksi yang hanya beroperasi di lingkup jarak pendek untuk memastikan kendaraan tidak terlalu jauh menjangkau stasiun pengisian bahan bakar.

“Kalau suatu hari ditemukan baterai yang lebih ringan dan mampu menempuh jarak jauh sistem charging station tanpa plug in mungkin bisa hilang. Tapi butuh waktu untuk itu,” jelasnya. 

(MEL)

About Post Author

Facebooktwitterredditpinterestlinkedinmail